Ini bukan cerita luar biasa, hanya
sepotong episode pencarian, mungkin. Percayakah kau bahwa ternyata selembar
kain dapat mengubah dunia ? Mengubah kehidupan seseorang ? Sungguh, kawan. Ini
bukanlah kisah seorang gadis penjahit gaun. Bukan pula kisah seorang putri yang
mencari tahta kerajaan. Bukan sebuah kisah dari negeri dongeng penuh
keindahan dan khayalan. Apalagi
kisah para isteri dan puteri nabi yang mulia. Dan, maaf. Ini bukan cerita novel yang pernah naik daun beberapa minggu lalu.
kisah para isteri dan puteri nabi yang mulia. Dan, maaf. Ini bukan cerita novel yang pernah naik daun beberapa minggu lalu.
Ini hanya sepotong episode kehidupan gadis yang miskin aksara.
Maka, sebelum kau putuskan untuk melanjutkan membaca, pikirlah kembali. Karena
bisa saja cerita ini tak berkesan, aneh, bahkan kau menyesal telah membacanya,
tak bermanfaat sama sekali. Namun jika kau terlanjur membaca, maka kutawarkan
dua pilihan untukmu. Membaca hingga akhir atau sudahi. Ya, dengan diam begitu
berarti kau telah menyetujuinya. Hey, kau masih saja membaca ! Baiklah, karena
matamu memaksa menelusuri paragraf selanjutnya, mari dengarkan si gadis berceloteh.
Masih teringat jelas, tiga tahun silam
ketika duduk di bangku SMA. Pencarian itu dimulai ketika aku mengenal
bermacam-macam teman, ketika pilihan-pilihan hidup mulai berseliweran, dan
ketika aku memilih satu hal. Dan satu hal itu mengubahku dan segalanya.
Suatu ketika ada seorang teman yang
mengajakku untuk mengikuti liqo’ (Ia
menyebutnya begitu). Sebagaimana anak SMA dengan segala kepolosan, aku
manut-manut saja. Menambah ilmu, pikirku. Kulangkahkan kaki saat pulang sekolah
menuju tempat liqo’ yang jaraknya tak
seberapa jauh dari kelas. Kulihat ada seorang wanita muda berpakaian hitam-hitam,
gelap. Agak serem juga melihatnya. Ia menatapku dengan senyum, aku hanya
bergidik. Rasa malu, takut, dan nyaman bercampur jadi satu.
Aku malu, karena rupanya aku baru sadar
kalau ternyata yang dimaksud liqo’
oleh temanku tadi adalah pengajian. Dan aku satu-satunya orang yang tidak
mengenakan jilbab kala itu. Takut. Aku takut sekali kalau-kalau otakku dicuci
setelah keluar dari masjid. Seperti yang pernah aku lihat di koran beberapa
hari lalu, jaman sekarang lagi musim penculikan berkedok pengajian. Aih, mau
lari saja rasanya. Tapi bagaimanalah ? Tiba-tiba saja aku merasa nyaman setelah
Mbak itu mengucapkan “Assalaamu’alaykum ukhti, boleh ana tau nama anti ?”.
Alamak, lembut sekali suaranya tapi
entah itu bahasa apa, agak asing. Lamunanku tentang sosok penculik tadi
tiba-tiba saja buyar. “Maksudnya Mbak ? ”, aku tak mengerti maksud perkataan
beliau. Dengan tersenyum beliau menjawab, “Namamu siapa dek ? Kalau boleh
tau..”
“Panggil aja Ra, Mbak.” Sahutku.
Ah, tidak. Aku benar-benar terjebak
dengan keadaan. Kalau saja tadi aku meng-iya-kan ajakan temanku untuk nonton,
pasti aku sedang asyik di bioskop ketawa cekikikan. Tidak seperti di sini. Kaku
sekali. Bete.
Ditambah lagi ketika ada giliran
tilawah. Apa ? Aku tilawah. Oh My God ! Lidahku kaku sekali. Kenapa mesti ada
acara ngaji begini sih ? Ini Mbak emang
sengaja kali ya. Udah jelas penampilanku begini, malah disuruh ngaji pula.
Alamaaaak..
“Bis..bis..bismillah” Baru saja membaca
satu kata, tiba-tiba terasa Al-Qur’an yang ada ditanganku basah. Seperti ada
titik air hujan yang jatuh. Dan rasanya masjid ini atapnya baru, tak mungkin
bocor. Saat kutengok ke atas, ah tidaaak ! Rupanya memang bocor. Kelopak mata
tak mampu membendung airnya. Menetes. Kian banjir. Aku malu. Menangis terisak
dalam dada. Ternyata apa yang aku pelajari bertahun-tahun di TPA hilang begitu
saja. Aku lupa cara mengaji. Astaghfirullah. Kaku. Kelu. Dan aku benar-benar
bisu.
Setelahnya, kalimat-kalimat nasihat
diuntaikan dari mulut sang ustadzah, diakhiri, dan pulang. Saling bersalaman
dan cipika-cipiki. Untuk awalan, agak canggung memang. Serasa aku adalah
ibu-ibu pengajian. Wah, kalau ada temanku yang melihat, bisa-bisa mereka heran
aku ada di Masjid. Pasti dah jadi olok-olokan. Hmm.
Dalam perjalanan menuju rumah, aku teringat
kembali pesan beliau. Menuntut ilmu agama itu wajib bagi setiap muslim,
terbayang akan syurga yang Allah beri kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Yang
menjalankan setiap perintah-Nya, yang menjauhi larangan-Nya.
“Oh tidak ! Sepertinya otakku telah dicuci.
Baiklah. Tak usah terlalu dipikirkan. Tak usah menjadi muslimah fanatik,
biasa-biasa sajalah. Yang penting kan hatinya baik.” Gumamku.
Namun, mulutku tak bisa mendustakan apa
yang ada dihatiku. Akhirnya tetap saja aku mengingat perkataan sang ustadzah.
Yang menjadi motivasiku kala itu, surga, surga, surga. Ah, bagaimanalah aku
bisa masuk surga. Masih saja mencari cara. Sepertinya syaithon dan malaikat
sedang berperang dalam aliran darahku.
Akhirnya, aku menceritakan pada sahabatku bahwa aku mengikuti liqo’.
Dan… jawabannya spektakuler, jantungku hampir
copot dibuatnya.
“Sekarang ini kan banyak aliran
macem-macem Ra, kita mesti hati-hati, liat-liat juga siapa yang ngisi ceramah.
Biasa sasarannya anak SMA, itu nah aku nonton di TV tadi pagi, ternyata ROHIS (Rohani Islam) itu sarangnya
teroris loh. Idih, mending gak usah aja gin ikut-ikut pengajian kayak gitu.
Mungkin yang tadi itu, apa ? Liqo ? Nah bisa jadi itu juga sama aja.” Aku
meng-iya-kan dan berlalu.
Bukan Ra namanya kalau tidak penasaran.
Dalam hati, selama apa yang sahabatku bilang belum terbukti, aku akan terus
mengikuti Liqo’, karena aku merasa
ada sesuatu yang beda. Kalau toh nanti aku temui bukti, barulah aku bisa
mengambil keputusan. Tabayun mah
bahasa gaulnya.
Pengajian ini rupanya pekanan, maka tiap
pekan aku menyisihkan waktu untuk mendengar nasihat di Masjid sekolah, bertemu
Mbak itu lagi, tapi dalam keadaan riang dan suka cita. Tidak seperti di awal.
Senang rasanya berkumpul dengan sahabat-sahabat shalihah, bersama-sama
memperbaiki diri. Meski ada satu hal yang mengganjal. Tiga pekan sudah aku mengikuti pengajian,
namun masih saja menjadi satu-satunya orang yang tak berhijab. Mungkin
terdengar biasa. Tapi jika boleh aku menjelaskan perasaanku kala itu, seperti
orang telanjang yang berada ditengah-tengah muslimah, namun aku tak mempunyai
sehelai kain pun untuk menutupi tubuhku. Bagaimanalah ? Pakaian yang aku punya
hanya celana jeans dan kaos oblong. Ya, style
yang tak berubah sejak SMP dulu.
Tepat di pekan ke empat, ustadzah
menamparku dengan sangat keras. Keras sekali. Perih. Menitihlah air mataku.
Lagi-lagi saat liqo’. Hanya dengan sebuah ayat Al-Qur’an yang keluar dari bibir
ustadzah, ya rasanya sama seperti ditampar. Entah aku lupa surah apa. Oh, ya !
Tolong ambil mushafmu kawan, bacalah Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59. Tolong
satu lagi, maaf. Bisakah kau bacakan juga artinya ? Aku sungguh lupa.
“Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Benar, ayat itulah yang telah membuatku
sadar. Membuatku paham tentang sehelai kain.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama
Saat pertama aku membaca perintah-Nya
Hijab adalah kehormatan wanita
Mulai kukenakan menjuntai ke dada
Awalnya kupakai saat kondangan saja
Namun akhirnya aku pakai kemana-mana
Eh tapi ternyata haruslah sempurna
Longgar terasa, kaus kaki tak lupa
Hijab menjaga, muslimah mulia
Mungkin terkesan lebay, tapi begitulah.
Ternyata tak semua orang mempunyai kesempatan mengenakannya. Tak semua orang
Allah tunjuk untuk menjadi penerima hidayah-Nya.
Oh iya, kawan, setelah hijab itu melekat
sempurna pada tubuhku, tak serta merta gangguan hilang begitu saja. Orang tua,
keluarga, tetangga, guru, sahabat, kawan-kawan, lewat perkataan merekalah Allah
mengujiku. Menguji seberapa besar kemampuanku untuk mempertahankan hijab yang
baru saja kukenakan.
Tak peduli bagaimana wajah kawan lamaku. Tak
peduli anggapan bahwa aku tak lagi setia kawan. Tak peduli lagi anggapan teman bahwa
aku adalah calon teroris. Tak peduli. Aku tak peduli cercaan guru-guru di
sekolah. Aku tak peduli apa kata ayah bunda. Yang aku pedulikan hanya satu. Aku
peduli dengan diriku. Aku ingin menjadi baik. Ingin berubah. Allah Maha
Mengetahui isi hati.
Mereka bilang kami teroris. Namun dimana
? Disini aku tak menemukan sedikitpun keganjalan. Ustadzah memang sering
mengucapkan kata jihad. Namun, tak pernah sedikitpun beliau menyuruhku mengebom
Gereja, atau belajar cara merakit senjata. Alamak, justeru diajarkannya aku
toleransi dalam beragama. Bahkan patuh pada kedua orang tua juga bagian dari
jihad, bahwa ternyata menuntut ilmu juga jihad.
Ah tapi sudahlah. Sudah kebal kami dengan
hinaan dan cacian. Mungkin dengan begitu Allah ingin kami menjadi gadis yang
kuat. Tahan banting istilahnya. Semoga.
Tak sampai sini. Aku memang telah
menemukan, mengenakannya. Namun, masih saja rasanya tak pantas menggunakan
jilbab lebar ini. Malu juga. Pakai jilbab lebar, namun hapalan tak ada, sholat
sunnah masih bolong-bolong, puasa senin-kamis sering lupa, bla bla bla. Masih
banyak amalan lain yang belum dilakukan. Namun pertanyaanya, jika menunggu amal
sempurna lalu kemudian menggunakan hijab, lantas tunggu berapa lama ? Ah,
rasanya tak perlu muluk-muluk. Kerjakan saja perintah Allah, tutup aurat. Soal
amalan dan perilaku, biarlah ia memantaskan seiring berlajannya waktu. Allah
akan menunjukan jalan bagi siapa saja yang memohon petunjuk. Insyaallah.
Kian lama aku kian cinta pada lingkaran
ini. Ya. Halaqah Cinta yang
mempertemukan aku dengan sehelai kain bernama hijab.
Kau tentu tahu,
Bahwa ternyata tak
semua orang mempunyai kesempatan berjumpa dengan para Nabi,
Bahwa ternyata tak
semua insan menerima yang Allah
sampaikan melalui perantara Rasul-Nya,
Bahwa dari sekian yang
menerima hidayah-Nya, hanya sedikit saja yang bertaqwa,
Bahwa dari sekian yang
bertaqwa, hanya sedikit saja yang istiqomah di jalan-Nya,
Bahkan, sama. Dari sekian muslimah di
bumi, mungkin hanya sedikit saja yang paham kewajiban berhijab. Dan dari
sedikit yang paham itu, hanya sebagian kecil saja yang mengenakannya.
Seperti yang dia ucapkan tadi, ini bukan
kisah luar biasa. Namun ketika kau selesai membaca, sadarkah ? Kau telah
menjadikan aku sahabatmu. Karena sahabat adalah ia yang mau meluangkan waktu
untuk mendengar. Terima kasih duhai sahabat penaku, semoga Allah selalu
meridhoimu, dan semoga hijab yang telah melekat dengan kulit ini menjadi bukti
yang mengantarkan kita untuk bertemu di Jannah-Nya. Aamiin.
***
Balikpapan, 15 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar