Sabtu, 27 Juni 2015

Assalamu’alaikum Hijab

Ini bukan cerita luar biasa, hanya sepotong episode pencarian, mungkin. Percayakah kau bahwa ternyata selembar kain dapat mengubah dunia ? Mengubah kehidupan seseorang ? Sungguh, kawan. Ini bukanlah kisah seorang gadis penjahit gaun.  Bukan pula kisah seorang putri yang mencari  tahta kerajaan.  Bukan sebuah kisah dari negeri dongeng penuh keindahan dan khayalan. Apalagi
kisah para isteri dan puteri nabi yang mulia. Dan, maaf. Ini bukan cerita novel yang pernah naik daun beberapa minggu lalu.
Ini hanya sepotong  episode kehidupan gadis yang miskin aksara. Maka, sebelum kau putuskan untuk melanjutkan membaca, pikirlah kembali. Karena bisa saja cerita ini tak berkesan, aneh, bahkan kau menyesal telah membacanya, tak bermanfaat sama sekali. Namun jika kau terlanjur membaca, maka kutawarkan dua pilihan untukmu. Membaca hingga akhir atau sudahi. Ya, dengan diam begitu berarti kau telah menyetujuinya. Hey, kau masih saja membaca ! Baiklah, karena matamu memaksa menelusuri paragraf selanjutnya, mari dengarkan si gadis  berceloteh.
Masih teringat jelas, tiga tahun silam ketika duduk di bangku SMA. Pencarian itu dimulai ketika aku mengenal bermacam-macam teman, ketika pilihan-pilihan hidup mulai berseliweran, dan ketika aku memilih satu hal. Dan satu hal itu mengubahku dan segalanya.
Suatu ketika ada seorang teman yang mengajakku untuk mengikuti liqo’ (Ia menyebutnya begitu). Sebagaimana anak SMA dengan segala kepolosan, aku manut-manut saja. Menambah ilmu, pikirku. Kulangkahkan kaki saat pulang sekolah menuju tempat liqo’ yang jaraknya tak seberapa jauh dari kelas. Kulihat ada seorang wanita muda berpakaian hitam-hitam, gelap. Agak serem juga melihatnya. Ia menatapku dengan senyum, aku hanya bergidik. Rasa malu, takut, dan nyaman bercampur jadi satu.
Aku malu, karena rupanya aku baru sadar kalau ternyata yang dimaksud liqo’ oleh temanku tadi adalah pengajian. Dan aku satu-satunya orang yang tidak mengenakan jilbab kala itu. Takut. Aku takut sekali kalau-kalau otakku dicuci setelah keluar dari masjid. Seperti yang pernah aku lihat di koran beberapa hari lalu, jaman sekarang lagi musim penculikan berkedok pengajian. Aih, mau lari saja rasanya. Tapi bagaimanalah ? Tiba-tiba saja aku merasa nyaman setelah Mbak itu mengucapkan “Assalaamu’alaykum ukhti, boleh ana tau nama anti ?”.
Alamak, lembut sekali suaranya tapi entah itu bahasa apa, agak asing. Lamunanku tentang sosok penculik tadi tiba-tiba saja buyar. “Maksudnya Mbak ? ”, aku tak mengerti maksud perkataan beliau. Dengan tersenyum beliau menjawab, “Namamu siapa dek ? Kalau boleh tau..”
“Panggil aja Ra, Mbak.” Sahutku.
Ah, tidak. Aku benar-benar terjebak dengan keadaan. Kalau saja tadi aku meng-iya-kan ajakan temanku untuk nonton, pasti aku sedang asyik di bioskop ketawa cekikikan. Tidak seperti di sini. Kaku sekali. Bete.
Ditambah lagi ketika ada giliran tilawah. Apa ? Aku tilawah. Oh My God ! Lidahku kaku sekali. Kenapa mesti ada acara ngaji begini sih ? Ini  Mbak emang sengaja kali ya. Udah jelas penampilanku begini, malah disuruh ngaji pula. Alamaaaak..
“Bis..bis..bismillah” Baru saja membaca satu kata, tiba-tiba terasa Al-Qur’an yang ada ditanganku basah. Seperti ada titik air hujan yang jatuh. Dan rasanya masjid ini atapnya baru, tak mungkin bocor. Saat kutengok ke atas, ah tidaaak ! Rupanya memang bocor. Kelopak mata tak mampu membendung airnya. Menetes. Kian banjir. Aku malu. Menangis terisak dalam dada. Ternyata apa yang aku pelajari bertahun-tahun di TPA hilang begitu saja. Aku lupa cara mengaji. Astaghfirullah. Kaku. Kelu. Dan aku benar-benar bisu.
Setelahnya, kalimat-kalimat nasihat diuntaikan dari mulut sang ustadzah, diakhiri, dan pulang. Saling bersalaman dan cipika-cipiki. Untuk awalan, agak canggung memang. Serasa aku adalah ibu-ibu pengajian. Wah, kalau ada temanku yang melihat, bisa-bisa mereka heran aku ada di Masjid. Pasti dah jadi olok-olokan. Hmm.
Dalam perjalanan menuju rumah, aku teringat kembali pesan beliau. Menuntut ilmu agama itu wajib bagi setiap muslim, terbayang akan syurga yang Allah beri kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Yang menjalankan setiap perintah-Nya, yang menjauhi larangan-Nya.
“Oh tidak ! Sepertinya otakku telah dicuci. Baiklah. Tak usah terlalu dipikirkan. Tak usah menjadi muslimah fanatik, biasa-biasa sajalah. Yang penting kan hatinya baik.” Gumamku.
Namun, mulutku tak bisa mendustakan apa yang ada dihatiku. Akhirnya tetap saja aku mengingat perkataan sang ustadzah. Yang menjadi motivasiku kala itu, surga, surga, surga. Ah, bagaimanalah aku bisa masuk surga. Masih saja mencari cara. Sepertinya syaithon dan malaikat sedang berperang dalam aliran darahku.  Akhirnya, aku menceritakan pada sahabatku bahwa aku mengikuti liqo’.
Dan… jawabannya spektakuler, jantungku hampir copot dibuatnya.
“Sekarang ini kan banyak aliran macem-macem Ra, kita mesti hati-hati, liat-liat juga siapa yang ngisi ceramah. Biasa sasarannya anak SMA, itu nah aku nonton di TV tadi pagi,  ternyata ROHIS (Rohani Islam) itu sarangnya teroris loh. Idih, mending gak usah aja gin ikut-ikut pengajian kayak gitu. Mungkin yang tadi itu, apa ? Liqo ? Nah bisa jadi itu juga sama aja.” Aku meng-iya-kan dan berlalu.
Bukan Ra namanya kalau tidak penasaran. Dalam hati, selama apa yang sahabatku bilang belum terbukti, aku akan terus mengikuti Liqo’, karena aku merasa ada sesuatu yang beda. Kalau toh nanti aku temui bukti, barulah aku bisa mengambil keputusan. Tabayun mah bahasa gaulnya.
Pengajian ini rupanya pekanan, maka tiap pekan aku menyisihkan waktu untuk mendengar nasihat di Masjid sekolah, bertemu Mbak itu lagi, tapi dalam keadaan riang dan suka cita. Tidak seperti di awal. Senang rasanya berkumpul dengan sahabat-sahabat shalihah, bersama-sama memperbaiki diri. Meski ada satu hal yang mengganjal.  Tiga pekan sudah aku mengikuti pengajian, namun masih saja menjadi satu-satunya orang yang tak berhijab. Mungkin terdengar biasa. Tapi jika boleh aku menjelaskan perasaanku kala itu, seperti orang telanjang yang berada ditengah-tengah muslimah, namun aku tak mempunyai sehelai kain pun untuk menutupi tubuhku. Bagaimanalah ? Pakaian yang aku punya hanya celana jeans dan kaos oblong. Ya, style yang tak berubah sejak SMP dulu.
Tepat di pekan ke empat, ustadzah menamparku dengan sangat keras. Keras sekali. Perih. Menitihlah air mataku. Lagi-lagi saat liqo’. Hanya dengan sebuah ayat Al-Qur’an yang keluar dari bibir ustadzah, ya rasanya sama seperti ditampar. Entah aku lupa surah apa. Oh, ya ! Tolong ambil mushafmu kawan, bacalah Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59. Tolong satu lagi, maaf. Bisakah kau bacakan juga artinya ? Aku sungguh lupa.
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Benar, ayat itulah yang telah membuatku sadar. Membuatku paham tentang sehelai kain.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama
Saat pertama aku membaca perintah-Nya
Hijab adalah kehormatan wanita
Mulai kukenakan menjuntai ke dada

Awalnya kupakai saat kondangan saja
Namun akhirnya aku pakai kemana-mana
Eh tapi ternyata haruslah sempurna
Longgar terasa, kaus kaki tak lupa

Hijab menjaga, muslimah mulia

Mungkin terkesan lebay, tapi begitulah. Ternyata tak semua orang mempunyai kesempatan mengenakannya. Tak semua orang Allah tunjuk untuk menjadi penerima hidayah-Nya.
Oh iya, kawan, setelah hijab itu melekat sempurna pada tubuhku, tak serta merta gangguan hilang begitu saja. Orang tua, keluarga, tetangga, guru, sahabat, kawan-kawan, lewat perkataan merekalah Allah mengujiku. Menguji seberapa besar kemampuanku untuk mempertahankan hijab yang baru saja kukenakan.
 Tak peduli bagaimana wajah kawan lamaku. Tak peduli anggapan bahwa aku tak lagi setia kawan. Tak peduli lagi anggapan teman bahwa aku adalah calon teroris. Tak peduli. Aku tak peduli cercaan guru-guru di sekolah. Aku tak peduli apa kata ayah bunda. Yang aku pedulikan hanya satu. Aku peduli dengan diriku. Aku ingin menjadi baik. Ingin berubah. Allah Maha Mengetahui isi hati.
Mereka bilang kami teroris. Namun dimana ? Disini aku tak menemukan sedikitpun keganjalan. Ustadzah memang sering mengucapkan kata jihad. Namun, tak pernah sedikitpun beliau menyuruhku mengebom Gereja, atau belajar cara merakit senjata. Alamak, justeru diajarkannya aku toleransi dalam beragama. Bahkan patuh pada kedua orang tua juga bagian dari jihad, bahwa ternyata menuntut ilmu juga jihad.
Ah tapi sudahlah. Sudah kebal kami dengan hinaan dan cacian. Mungkin dengan begitu Allah ingin kami menjadi gadis yang kuat. Tahan banting istilahnya. Semoga.
Tak sampai sini. Aku memang telah menemukan, mengenakannya. Namun, masih saja rasanya tak pantas menggunakan jilbab lebar ini. Malu juga. Pakai jilbab lebar, namun hapalan tak ada, sholat sunnah masih bolong-bolong, puasa senin-kamis sering lupa, bla bla bla. Masih banyak amalan lain yang belum dilakukan. Namun pertanyaanya, jika menunggu amal sempurna lalu kemudian menggunakan hijab, lantas tunggu berapa lama ? Ah, rasanya tak perlu muluk-muluk. Kerjakan saja perintah Allah, tutup aurat. Soal amalan dan perilaku, biarlah ia memantaskan seiring berlajannya waktu. Allah akan menunjukan jalan bagi siapa saja yang memohon petunjuk. Insyaallah.
Kian lama aku kian cinta pada lingkaran ini. Ya. Halaqah Cinta yang mempertemukan aku dengan sehelai kain bernama hijab.

Kau tentu tahu,
Bahwa ternyata tak semua orang mempunyai kesempatan berjumpa dengan para Nabi,
Bahwa ternyata tak semua insan  menerima yang Allah sampaikan melalui perantara Rasul-Nya,
Bahwa dari sekian yang menerima hidayah-Nya, hanya sedikit saja yang bertaqwa,
Bahwa dari sekian yang bertaqwa, hanya sedikit saja yang istiqomah di jalan-Nya,

Bahkan, sama. Dari sekian muslimah di bumi, mungkin hanya sedikit saja yang paham kewajiban berhijab. Dan dari sedikit yang paham itu, hanya sebagian kecil saja yang mengenakannya.
Seperti yang dia ucapkan tadi, ini bukan kisah luar biasa. Namun ketika kau selesai membaca, sadarkah ? Kau telah menjadikan aku sahabatmu. Karena sahabat adalah ia yang mau meluangkan waktu untuk mendengar. Terima kasih duhai sahabat penaku, semoga Allah selalu meridhoimu, dan semoga hijab yang telah melekat dengan kulit ini menjadi bukti yang mengantarkan kita untuk bertemu di Jannah-Nya. Aamiin.
***


                                                                         -The End-


Balikpapan, 15 Januari 2015
 

Tidak ada komentar: