Rabu, 22 Oktober 2014

Manfaat Organisasi Itu..



“Nggak capek kah ya ikut organisasi ? Banyak banget kegiatannya. Jadi panitia, koordinator acara, nyari-nyari dana buat ngadain event yang nggak seberapa, ngomong di depan umum sampai gagap-gagap meski audiensnya nggak banyak, udah gitu sukarela, alias nggak dibayar pula”.

Dua tahun lalu, ketika teman-teman melemparkan pertanyaan semacam itu saya tidak bisa menjawab. Kalau dipikir, benar juga apa yang dikatakan. Tapi saya selalu mengingat pesan senior saya sewaktu duduk di bangku SMA, “ Ingat pesan mbak ya dek, segala bentuk kegiatan  yang kita lakukan ini tidak sia-sia. Kita bekerja untuk mewujudkan visi organisasi, demi kebaikan. Mungkin manfaat itu belum bisa dirasa saat ini, tapi nanti”, begitulah kira-kira pesan beliau. 

Berdasarkan pengakuan teman saya, baik yang duduk di bangku SMA, mahasiswa,  maupun pekerja, sebagian berpikir bahwa berorganisasi sambil bersekolah, kuliah, apalagi bekerja  itu menyusahkan. Iya, saya rasa pendapat itu benar. Namun, tentu semua bisa diatasi dengan manajemen waktu yang baik, yang saya pun masih belajar untuk itu.

Kalau ada yang bilang bahwa kuliah itu hanya duduk di kelas saja dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik, saya kurang sepakat. Karena belajar tak hanya bisa di lakukan di kelas, kita bisa belajar dimana saja. Dan ada hal-hal tertentu yang tak bisa kita pelajari hanya dengan duduk di kelas, salah satunya adalah softskill, yaitu suatu kemampuan untuk mengendalikan emosi dalam diri,  dapat menerima nasehat orang lain, mampu memanajemen waktu, dan selalu berpikir positif. Itu semua bisa didapat jika kita mau keluar dari zona nyaman, berorganisasi.

Sesungguhnya bukan hanya itu manfaatnya, ada beberapa hal yang kiranya akan kita dapat jika kita mau menyibukkan diri dengan berorganisasi, tentunya organisasi positif, yaitu :

1.       Luas Jaringan

Meski tidak terkenal, setidaknya dengan berorganisasi kita cukup banyak mengenal orang-orang baru yang ada di sekitar. Dan bisa jadi orang-orang yang kita kenal bukanlah dari kalangan biasa, entah itu pengusaha, dosen, penulis, reporter, atau ustadz. Dengan luasnya jaringan pertemanan, kita akan mudah untuk saling bantu-membantu dan belajar dari mereka yang telah sukses.

2.       Kemampuan Komunikasi

Dengan aktif di organisasi, kita dituntut untuk bisa mengemukakan pendapat, membaca sesuatu di depan umum, memimpin rapat, dsb. dengan tidak memandang seberapa pemalunya kita. Hal ini tentu akan mengasah kemampuan berbicara kita. Meski awalnya takut, panas dingin, malu, bahkan sampai pingsan (hehe), tapi semakin bertambahnya ‘jam terbang’untuk berbicara di depan umum, insyaallah kemampuan bicara kita akan semakin baik. Bahkan bisa menjadi seorang pembicara atau mentor.


3.       Jiwa Kepemimpinan (Leadership)

Ternyata tugas menjadi penanggungjawab atau koordinator acara dalam suatu event yang notabene tidak dibayar itu membuat seseorang  lebih percaya diri untuk menanggung beban. Ketika sudah percaya diri dan mampu bertanggungjawab, biasanya kita akan lebih mudah untuk memimpin, cerdas dalam mengambil keputusan, yang tentunya sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari.

4.       Membentuk Karakter

Dengan tergabung dalam lingkaran organisasi, kita akan lebih sering berinteraksi dengan orang-orang baru yang tidak kita kenal sebelumnya dengan berbagai karakter. Dan sudah menjadi rahasia publik, ketika kita berkumpul dengan orang baik tentu kita akan tertular menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karenanya, kita harus meneliti lagi organisasi apa yang kita ikuti, apakah mengarah pada sesuatu yang positif atau tidak. Tentu kita bisa menilai.

5.       Menambah Keterampilan dan Ilmu Pengetahuan

Biasanya dalam suatu organisasi ada agenda khusus  untuk mengembangkan skill dan pengetahuan para anggotanya, misalnya keterampilan public speaking, menulis, tahsin, menjahit, memasak, dll. yang semuanya gratis. Dengan berorganisasi, kita juga akan terbiasa dengan kegiatan diskusi-diskusi yang sehat. Dengan begitu, tentu ilmu dan keterampilan kita kian bertambah.

6.       Ajang Latihan Dunia Kerja

Bagi saya, berorganisasi sama saja dengan bekerja. Toh tujuannya sama-sama untuk mencapai visi tertentu. Yah, memang perbedaannya hanya  terletak pada bayaran, dalam organisasi jangan berharap upah, namun pengalaman. Salah satu contohnya, kita jadi paham prosedur membuat proposal bantuan dana, paham cara kerja event organizer, dsb.

7.       Pahala 

Dengan berorganisasi, kita belajar untuk bekerja dengan niat ikhlas tanpa mengharap bayaran. Bekerja atas dasar ingin mewujudkan visi-misi kita sebagai manusia, yaitu bermanfaat bagi manusia yang lainnya. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Semoga semua tetes keringat yang mengucur akan diganti dengan pahala. Aamiin.

Sekarang saya baru sadar pentingnya berorganisasi, berkumpul dengan orang-orang yang semisi. Dan melihat sendiri bukti dari ucapan senior saya yang sekarang menjabat sebagai kepala departemen kemuslimahan di LDK (Lembaga Dakwah Kampus) kampusnya di Samarinda. Sejak di bangku SMA beliau memang aktif dalam organisasi, salah satunya ROHIS (Rohani Islam). Beliau juga menjuarai beberapa lomba debat bahasa inggris, baik tingkat kota, maupun nasional. Dan terbukti, bahwa keikhlasan kerja beliau yang lalu, Allah ganti dikemudian hari. Itu baru di dunia, belum lagi di akhirat kelak. Ya udah, tunggu apa lagi ? Nyok semangat berorganisasi  !

Minggu, 19 Oktober 2014

[Catatan Perjalanan] Pada Akhirnya, Kita Harus Percaya..

Catatan Perjalanan

Pada Akhirnya, Kita Harus Percaya..


Semua karyawan telah berkumpul, membawa barang-barang yang telah terdaftar dalam checklist. Jas hujan, perlengkapan shalat, Al-qur’an dan Al-Ma’tsurat, perlengkapan mandi, pakaian ganti, dll. cukup membuat tas kami gembung. Yang kami tahu, kami akan menginap.

Jam yang tergantung di dinding kantor menunjukkan pukul 14.00 Wita. Kami masih penasaran, akan kemanakah tujuan perjalanan kami siang ini.  Pihak panitia sengaja tidak memberi tahu kami mengenai tempat dan susunan acara, sontak ini membuat kami bertanya-tanya dan antusias.

Setelah sebuah bus berwarna abu-abu bertuliskan POLDA singgah di hadapan, kami mulai menerka-nerka. Terbesit dalam benak kami, bahwa kami akan menjalani serangkaian proses latihan fisik yang dibantu oleh para polisi. Wih, betapa menegangkan saat-saat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.



Diawali dengan doa bersama, bus kami mulai meluncur. Sempat terdengar kabar bahwa kami akan melakukan outbound di Pantai Lamaru Balikpapan. Tapi entahlah, hal yang terpenting bagi kami adalah kebersamaan. Kami terkaget-kaget ketika bus yang kami tumpangi berhenti di suatu sekolah. Bukan. Bukan sekolah kepolisian atau semacamnya. Kami akan menginap disini, di SMK  Negeri 5 Balikpapan.

Setelah upacara pembukaan outbound, panitia memeriksa tas kami. Mengeluarkan barang-barang yang tidak tercantum dalam checklist. Ponsel, selimut, bantal, makanan, atau apapun yang tidak tercantum dalam checklist barang bawaan, akan disita sementara oleh panitia. Itu artinya, selama menginap disini kami tidak berkomunikasi dengan teman atau keluarga.  Suatu hal yang tidak biasa bagi kami. Atau hanya saya, karyawan baru.

Selama kegiatan, kami ditantang dengan beberapa target. Yaitu membaca Al-qur’an 1 juz dan Al-Ma’tsurat, menghafal nama dan alamat teman lain, dll.

Setelah shalat ashar berjama’ah, kami melakukan kegiatan outbound dengan dibagi menjadi beberapa kelompok. Sedangkan saya adalah salah satu anggota dari kelompok 5 (akhwat). Sungguh menyenangkan ketika saya bisa memetik makna dari setiap permainan yang ada, salah satunya adalah Trust Fall. Saya harus berani menjatuhkan diri dari ketinggian yang kurang lebih 2 meter, sedangkan beberapa teman yang lain menangkap saya dengan jaring. Ya, hanya 2 meter. Namun, ini tidak semudah yang saya bayangkan. Bagaimana jika mereka tidak menangkap saya ? Ah, sudahlah. Dicoba saja !

Setelah dipastikan aman, pembina kegiatan pun memberi aba-aba,

“ Di bawah, siap ?”

Teman-teman menjawab dengan lantang, “Siap !”

 “Di atas, siap ?”, Menanyakan kesiapan saya.

“Eng....InsyaAllah, siap !”

Dengan perasaan takut, pasrah, dan percaya, saya pun menutup mata, menggenggamkan tangan, mulai menjatuhkan diri. Pasrah dengan takdir Allah, mencoba melawan perasaan takut, dan percaya bahwa teman-teman bisa menangkap saya, menjaga saya. Dan akhirnya, huwaaaaa ! gubraakkk !

Saya terpejam, menatap langit-langit. Memandang hamparan luas berwarna biru dengan sedikit awan putih menutupinya. Dimana saya sekarang ? Apakah saya masih hidup ? Alhamdulillaah, ternyata masih !

Dan tanpa terasa kumandang adzan maghrib mengundang kami untuk segera menuju rumah Allah, sholat bersama.

Pesan yang tersimpan dalam permainan ini adalah, setiap manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain dalam menaklukan skenario kehidupan. Tak sekadar dipercaya, kita pun belajar untuk mempercayai :)



Balikpapan, 8 Agustus 2014

https://www.facebook.com/notes/rizka-amalia/catatan-perjalanan-part-1/299740883543863

Selasa, 14 Oktober 2014

Tua (belum) Tentu Dewasa, Dewasa (tak) Harus Tua




Mungkin pernah terbesit dalam hati tentang cara menjadi seseorang yang dewasa. Terinspirasi oleh orang lain yang memiliki sikap bijaksana dan mampu mengelola emosi di usia yang terbilang muda. Disadari atau tidak, mungkin kita pernah bertanya dalam hati, “bagaimana bisa dia yang semuda itu memiliki sikap yang lebih dewasa dari saya?”
Sebagai penulis, sebenarnya saya malu untuk mengangkat tema “Dewasa” dalam artikel ini, namun  saya rasa tak salah jika ingin berbagi pengalaman yang semoga bisa menginspirasi para pembaca.  
                Berdasarkan pengalaman hidup, baik murni maupun dari pengalaman orang di sekitar,  saya menyimpulkan ada beberapa faktor yang membuat seseorang menjadi dewasa, yaitu :
1.       Usia
Semakin tinggi angka usia seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat kesadarannya akan cara bersikap, menghadapi permasalahan, dan mengambil keputusan. Pola berpikir kita ketika duduk di bangku SD tentu berbeda dengan ketika kita sudah menyandang status sebagai mahasiswa. Sebagai contoh, ketika  kecil kita selalu menuntut apa yang kita inginkan agar segera terpenuhi dan jika tidak, kita akan menangis sebagai wujud atau ekspresi kekecewaan. Berbeda dengan sekarang, kita sudah memahami hukum-hukum alam, bahwa tak semua yang kita harapkan dapat kita capai.

2.       Masalah
Seorang yang sedari kecil sudah terbiasa menghadapi berbagai persoalan hidup dan mengatasinya sendiri tentu akan jauh lebih berpengalaman dari mereka yang selalu lari dari masalah. Percaya atau tidak, cobaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya bukanlah untuk menyusahkan kita, melainkan untuk menguji dan membentuk kedewasaan itu sendiri.

3.       Teman
Sebagai seorang muslimah, saya meyakini apa yang disebutkan dalam suatu hadits, bahwa kepribadian seseorang tergantung dari siapa ia berteman. Seorang yang bersahabat dengan seseorang yang memiliki kepribadian dewasa, maka sedikit banyak ia akan menjadi seseorang yang dewasa pula. Sahabat yang dewasa akan selalu mengajak kepada kebaikan, karena salah satu ciri seorang yang dewasa adalah mampu membedakan antara hal baik dan buruk. Teman yang dewasa akan selalu mengingatkan ketika kita salah.

Dari sekian banyak faktor yang membuat kita dewasa, tentu yang terpenting adalah faktor dari dalam diri kita sendiri. Allah tidak akan mengubah keadaan kita, kecuali kita yang berusaha untuk berubah. Semoga kita semua bisa menjadi seseorang yang lebih dewasa lagi dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Aamiin.

Balikpapan, 15 Oktober 2014