Minggu, 25 Oktober 2015

Titik Jenuh

Ketika saya menuliskan kalimat ini dengan lengkap, saya pasti mengakhirinya dengan titik. Saya menulis lagi kalimat berikutnya, kemudian saya akhiri lagi dengan titik. Saya mencoba menulis lagi kalimat ketiga dan saya yakin, pasti kalimat ini akan berakhir lagi dengan titik. Dan begitu seterusnya. 

Sama halnya dengan hidup. Dalam hidup ini kita selalu melakukan hal dengan pola yang sama setiap harinya. Kita terbangun, melakukan aktifitas, tertidur, kemudian bangun lagi. Ditambah lagi dengan tanggungjawab yang banyak. Seorang guru yang diamanahkan untuk mendidik murid-muridnya dengan kesabaran, seorang ayah yang berusaha memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, seorang anak yang berusaha berbakti kepada orang tua, seorang ketua kelas yang harus memenuhi hak anggotanya, seorang karyawan yang harus bekerja dengan baik. Satu orang yang dipenuhi oleh amanah yang banyak

Terkadang itu semua membuat kita  jenuh, bosan. Titik dimana kita telah kehabisan daya, lemah. Titik dimana kodrat manusia akan muncul. Sama seperti teori larutan, kehidupan juga memiliki titik jenuh.

Teringat akan kisah Nabi Yunus as, ketika dakwahnya selalu ditolak oleh kaumnya yang ingkar, beliau sempat lari dan meninggalkan kaumnya. Lantas Allah memberi tarbiyah melalui teguran.

Nabi Nuh yang pernah merasakan bahwa dirinya sudah tidak sanggup lagi membimbing kaumnya yang selalu ingkar, bahkan beliau berdo’a kepada Allah agar kaumnya diberi adzab agar hanya tersisa orang-orang yang beriman saja lagi. Tapi doanya tidak dikabulkan Allah.

Para Nabi pun pernah berada pada titik itu, namun mereka tetap berjuang melawan keputusasaan. Bagaimana dengan saya yang hanya manusia biasa ? Pada akhirnya saya temukan bahwa kita tidak perlu mengurangi amanah yang kita emban, hanya saja kita perlu sedikit jeda.